VIVAnews - Melanjutkan kencangnya arus modal asing ke pasar negara berkembang (emerging market), pasar saham Indonesia masih berpeluang untuk tumbuh. Hal itu ditunjukkan adanya penurunan drastis indikator utang negara (public debt) terhadap pertumbuhan domestik bruto (GDP).
Laporan International Monetary Fund memperlihatkan, angka public debt terhadap GDP Indonesia sebesar 30 persen. Angka ini lebih rendah dibandingkan negara-negara maju meski sedikit di atas China.
Rasio utang terhadap GDP China untuk tahun ini ditaksir hanya 23 persen. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan negara-negara maju seperti Amerika Serikat (100 persen) dan Jepang (204 persen).
Arus modal ini mendorong kenaikan harga pada obligasi negara. Artinya, imbal balik obligasi terhadap tenor 10 tahun menurun dari 10,22 persen menjadi 7,6 persen. Bahana Investment Management memperkirakan imbal hasil (yield) obligasi negara bergerak pada kisaran 7,5 sampai 8,5 persen untuk 2011.
Pemerintah sendiri tahun ini akan menerbitkan Surat Utang Negara (SUN) senilai Rp200 triliun, lebih besar dari tahun sebelumnya yang sebesar Rp170 triliun. "Peningkatan nilai ini, karena kebutuhan pendanaan pemerintah dari SUN bertambah tahun ini," kata Presiden Direktur Indonesia Bond Rating Agency, Ignatius Girendroheru ketika dihubungi VIVAnews di Jakarta, Rabu 5 Januari 2010.
Selain itu, Ignatius mengingatkan, pasar obligasi tahun ini tetap rentan dengan pergerakan suku bunga acuan dan tingkat inflasi.
Sedangkan Bahana memperkirakan, suku bunga acuan akan meningkat pada kuartal ketiga tahun ini.
Menurut Director for Research and Investor Relation Bahana Investment Management, Budi Hikmat, Bank Indonesia (BI) tidak akan buru-buru meningkatkan suku bunga acuan, karena ada kebijakan BI mengenai tingkat GWM link LDR sebesar 78-104 persen. "Tahun ini BI kikuk," kata dia.
Lalu bagaimana memilih instrumen investasi 2011?
Bahana merekomendasikan, untuk memperbesar proposi saham pada portofolio investasi 2011. "Tahun ini tahunnya saham," kata Marketing Director Bahana Investment Management, Rukmi Proborini.
Mengapa? Menurutnya, semakin rendah yield obligasi negara, berarti semakin besar net present value saham sehingga kenaikan saham sendiri pada hakikatnya meningkatkan kekayaan investor yang cenderung diikuti penguatan keinginan untuk berbelanja. "Hal ini berdampak positif memacu pertumbuhan ekonomi," ujarnya.
Sedangkan analis PT Samuel Sekuritas Adrianus Bias Prasuryo mengakui, dari segi valuasi, saat ini indeks harga saham gabungan diperdagangkan pada PE (price to earning ratio) 14,3 kali, relatif lebih mahal dibandingkan dengan rata-rata historis lim tahun yang berkisar 13,15 kali, namun masih lebih rendah dari level tertinggi yakni pernah dibuat di 16,9 kali.
"Kami melihat, bursa Indonesia masih pantas diperdagangkan premium seiring ekspektasi kenaikan rating menjadi investment grade di 2011," kata dia.
Hal lain yang mendasari adalah rasio return on equity (ROE) Indonesia yang mencapai 34 persen, tertinggi di kawasan regional Asia dan ratio price/earning to growth (PEG) yang relatif rendah hanya 0,6 kali, ketiga terendah di kawasan Asia.
Dari sisi domestik, semakin membaiknya stabilitas politik serta tingginya pertumbuhan ekonomi Indonesia juga menjadi justifikasi bursa Indonesia layak diperdagangkan premium.
Kendati demikian, Head of Research PT Mandiri Sekuritas Ari Pitoyo menuturkan, ada kecenderungan terjadi keseimbangan dalam berinvestasi di tahun ini.
Riset Mandiri Sekuritas memperkirakan, tren imbal balik pasar obligasi Indonesia akan terjadi volatilitas dengan asumsi tingkat inflasi pada level 6,6 persen dan suku bunga acuan sebesar tujuh persen.
Yield untuk obligasi bertenor dua tahun berkisar antara 6,8 persen sampai dengan 8,1 persen. Sementara itu, obligasi bertenor sepuluh tahun akan berkisar pada 9,5 persen dengan range 8,9-10,1 persen.
Debt Market Anayst Mandiri Sekuritas Handy Yunianto merekomendasikan, berinvestasi pada obligasi dengan tenor yang pendek dan mengalihkan kembali portofolio ketika tingkat imbal balik obligasi bertenor 10 tahun ketika kupon sudah di atas 8,25 persen.
Dia juga menyarankan, memperbesar porsi obligasi korporasi dengan tingkat rating yang baik sehingga resiko premiun masih lebih tinggi dari long term spread. "Pertumbuhan ekonomi yang baik akan menurunkan resiko premium tahun ini," kata Handy.
Sementara itu, tahun ini jumlah emisi obligasi yang akan masuk ke pasar diperkirakan sebesar Rp34 triliun. Emisi tersebut didominasi oleh obligasi korporasi yang berasal dari perusahaan pembiayaan. (umi)
View the original article here
This post was made using the Auto Blogging Software from WebMagnates.org This line will not appear when posts are made after activating the software to full version.
0 comments:
Post a Comment